M. Ruslan Kritik Keras Lonjakan PBB-P2: Pendapatan Daerah Jangan Dibangun di Atas Penderitaan Warga

Muratara, Gerbangsumsel.com,- Polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) masih menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Banyak warga mengeluhkan lonjakan tagihan pajak yang dinilai mencekik, bahkan mencapai 100 hingga 300 persen lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Namun, jika merujuk pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian diperbarui dengan UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), tarif PBB-P2 tidak boleh melebihi 0,5 persen. Artinya, tidak ada pemerintah daerah yang bisa seenaknya menaikkan tarif pajak melebihi batas tersebut.

Lalu, di mana akar persoalannya?
Kenaikan signifikan PBB-P2 ternyata bukan karena tarif pajak dinaikkan, melainkan karena adanya penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan pemerintah daerah berdasarkan kajian harga pasar tanah dan bangunan terkini.

Contohnya, 15 tahun lalu sebuah lahan bernilai Rp100 juta dengan NJOPTKP Rp60 juta hanya dikenakan pajak sekitar Rp40 ribu. Namun saat ini, dengan NJOP yang sudah disesuaikan menjadi Rp200 juta, pajak yang harus dibayar melonjak hingga Rp140 ribu.

“Jadi bukan tarif pajaknya yang naik, tetapi NJOP-nya yang disesuaikan dengan kondisi harga pasar sekarang. Dari sinilah terjadi lonjakan pembayaran pajak yang dirasakan memberatkan masyarakat,” jelas M. Ruslan, pemerhati kebijakan publik.

Dilema pun muncul. Jika NJOP tidak disesuaikan, potensi penerimaan daerah hilang. Tetapi jika penyesuaian dilakukan, masyarakat merasa terbebani. Jalan tengah yang bisa ditempuh pemerintah daerah adalah dengan menurunkan tarif dari 0,5 persen menjadi misalnya 0,2 persen agar kenaikan tidak terlalu drastis.

Persoalan ini juga menimbulkan pertanyaan soal kewenangan. Penyesuaian NJOP dapat dilakukan pemerintah daerah tanpa persetujuan DPRD. Namun, jika pemerintah ingin mengubah tarif pajak, maka harus ada revisi Perda dengan melibatkan DPRD.

Di tengah sorotan publik, banyak pihak berharap agar kebijakan pajak tidak ditarik ke ranah politik. “Kita diminta taat pajak untuk membangun, tapi pemerintah juga dituntut bijak agar rakyat tidak merasa semakin terbebani,” Tegas M. Ruslan selaku anggota DPRD Muratara dari partai Demokrat. (AR)

_

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *