Muratara, Gerbangsumsel.com,- Menyangkut permasalahan surat Izin hak kuasa tanah ulayat Nomor 09/Sek-1/1973 tanggal 1 Mei 1973 yang di tanda tangani oleh Kosgor/Bahumas dari Tiga Kecamatan Rawas Ulu Lettu A Hamid Rawas dan sekretaris A.Rofar Aziz serta kepala marga Suka Pindah Ulu Hasyim Murni yang di manfaatkan ke H.Toyib bin Ahyar pada waktu itu menjabat sebagai Anggota warga tani Kosgoro dati III Bhg Buruh yang beralamat di Desa Remban. Minggu (16/05/2021)
Disampaikan Aipi Gustori Selaku pemegang Kuasa untuk penyelesaian masalah tanah Ulayat ini PT.AMR wajib kembalikan lahan tanah Ulayat milik masyarakat desa remban dan sekitarnya, sebab sudah berulang kali bermediasi dari pihak PT.AMR ini tidak ada penyelesaian sampai kini, bahkan sering melakukan seperti di ajak rapat pihak kecamatan Rawas Ulu yang di fasilitasi oleh Camat Rawas Ulu pada tanggal 19 April 2017 untuk pengembalian Tanah Ulayat yang telah di amanatkan dalam Undang-undang Perkebunan nomor 39 tahun 2014 dan Permen Pertanian RI Nomor 98/permantan/07.140/9/2013 akan tetapi pihak PT.AMR Mangkir”Cetusnya.
Dijelaskanya lagi, adapun tentang Kesepakatan dan janji selalu di Ingkari oleh pihak PT.AMR menyangkut pemberian dokumen dan penyelesaian masalah tanah ulayat masyarakat hukum adat pada tanggal 14 November 2017 yang lalu.
Dalam hal ini PT.AMR telah membohongi Lembaran Disposisi Ketua DPRD Kabupaten Muratara bahwa Pihak Manager Serta PT .AMR tidak mengindahkan surat Bupati Muratara Nomor 900/133/III/MRU/2018 tentang pembebasan lahan, Tutupnya.
Sementara Dr.A.Bukhori,S.H.,M.H. Pakar Hukum menjelas secara detail tentang Tanah Ulayat ini : Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Pengakuan hak ulayat juga terdapat pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Lalu hak menguasai dari negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Demikian yang disebut dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Inilah yang menjadi dasar bagi pengaturan tanah ulayat definisi Hak Ulayat dan Tanah Ulayat,diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat, selain itu dalam Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu” ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut “beschikkingsrecht”.
Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (Permen ATR/BPN 18/2019) diuraikan lebih lanjut mengenai hak ulayat kesatuan masyarakat hukum adat atau yang serupa itu. (AR)
_